Dugaan bahwa kategori nomor (5) di alinea berikut #PeringkatIndonesia buruk karena hutangnya banyak perlu dikesampingkan. Dugaan bahwa harapan hidup di Indonesia dengan damai dan sehat hingga tua (2) juga perlu dikesampingkan. Dugaan bahwa polusi karbon (6) di Indonesia masih tertolong hutan tropis dsb, juga sangat perlu dikesampingkan. Inilah tulisan fakta riset World Economic Forum tentang Indonesia. Ingat Indonesia lumayan juara mispersepsi Per definisi pakai bahasa (diupayakan) sederhana, Indeks Pembangunan Inklusif (IBI) bicara apakah kebijakan struktur dan kelembagaan sebuah perekonomian sudah pro pada: (1) Penciptaan lapangan pekerjaan, (2) Harapan hidup sehat, (3) Sedikit orang miskinnya, (4) Merata kemakmurannya, (5) Sedikit proporsi hutang negaranya, dan (6) Polusi karbonnya dari ekonominya minimal. Ini baru sebagian dari sub pilar dan pilar lainnya, untuk teknisnya dapat menjadi bahan diskusi lebih jauh. Memakai kategori peringkat 'Di Kelas' a la aba-amba maka
Apalah arti telepon rumah? Ini nama familiar dari fixed telephone atau disebut PSTN (public switched telephone network) oleh si penyedia layanan. Menyangka PSTN akronim bahasa Indonesia juga kah?
Ternyata masih ada artinya bagi 1 miliar plus 4 juta pelanggan di seluruh dunia (2016), 10,4 juta di antaranya ada di Indonesia. Ini penurunan dari puncak 1,26 miliar dunia di 2006 atau 40,9 juta bagi Indonesia di 2010. Di kasus Indonesia 74,7% pelanggan 'hilang' dalam 6 tahun. Di dunia hanya hilang 20,4% dalam 10 tahun.
Dengan cara pandang lain, tadinya (2010) dari 100 orang ada 17 pelanggan, di 2016 tinggal 4 dari 100 orang yang melanggan si telepon rumah ini sedikit di bawah kondisi di 2004. Lereng Everest!
Sumber: World Bank. https://data.worldbank.org/indicator/IT.MLT.MAIN.P2?locations=ID&type=shaded&year_high_desc=true |
Kemungkinan anda masih tertarik terus membaca karena bagian dari 10,4 juta pelanggan tsb. Atau karena, seperti si Ibu tua, mengalami nasib sama seperti anda atau orang dekat; atau...
Rumah si Ibu tua kosong selama 3 bulan karena bersama si Ayah, mereka sementara tinggal di rumah salah satu anak, sesekali rumah kosong ini disambangi anak yang lain untuk memeriksa. Kenyataannya, telepon rumah yang hampir tidak digunakan itu memunculkan tagihan lebih dari Rp100 ribu. Angka yang tak seberapa bagi beberapa orang tapi perlu diingat ada 93 juta dari 255 juta (2014) warga Indonesia hidup di bawah $3,1 sehari. Rp100 ribu saat itu adalah $8,05. Artinya biaya hidup 2,6 hari bagi 93 juta warga tadi. Itulah arti Rp100 ribu bagi 1/3 lebih warga negara ini.
Kembali ke si Ibu yang bingung, si anak yang baru belakangan kritis mencari-cari di laman resmi cara mencari perincian tagihan yang di masa lalu cukup mendengarkan suara robot dari telepon rumah dan mencatat jika perlu perincian yang biasanya berisi abonemen (biaya berlangganan), pemakaian pulsa lokal, SLJJ, SLI, pajak. Dan luar biasa rumit, web perusahaan yang kapitalisasinya besar sekali di bursa saham Indonesia ini seperti membutuhkan lulusan S2 jurusan Komunikasi untuk menemukan potongan informasi seperti ini, sepertinya hasilnya adalah harus mendatangi kantor pelayanan si operator yang tidaklah seperti 'jamur' kantor bank. Sang anak melangkah ke media sosial dan ditemukan jawaban lama bahwa perlu mendatangi kantor bank. Ini perusahaan 'tele-'!
Tele- dalam artian bentuk terikat dengan telekomunikasi berdefinisi resmi jauh; jarak jauh. Berpaku pada definisi ini si anak mencoba cara dari jauh tanpa harus mendekat ke kantor fisik dimaksud, seharusnya bisa lewat tele-pon atau on-line. Mungkin karena nasib baik, dibantu sebaran dari yang juga prihatin dengan kondisi perbisnisan telekomunikasi di Indonesia, si anak dibantu oleh petugas virtual yang peduli menanyakan hal yang terjadi. Hasilnya adalah janji untuk menanyakan si Ibu tua bagaimana keputusannya tentang pencarian informasi perincian telepon rumah tadi.
Ketika mengunjungi si Ibu tua, dengan informasi nomor telepon layanan pelanggan berbicaralah dengan petugas yang (seperti banyak call center lain) memiliki nama depan, entah nama belakangnya dan entah itu asli atau tidak. Informasinya mencengangkan:
si Ibu tua ternyata sudah 2 tahun lebih berlangganan paket bicara 13 jam ke ponsel yang dibebankan flat per bulan tanpa diketahui oleh si Ibu tua, apalagi si Ayah, dan juga oleh semua anggota keluarga si Ibu tua.
Artinya fasilitas ini tidak digunakan oleh mereka karena menghindari biaya sambung ke ponsel dari telepon rumah yang dipersepsi mahal. Dan si Ibu dan anggota keluarga lainnya memilih untuk memakai ponsel dengan paket-paket bicara satuan, atau cara lainnya dalam bertelekomunikasi. Anyway, ada paket Rp 48 ribu yang ditawarkan khusus dari telemarketing si perusahaan dan paket Rp 88 ribu yang telah dihapuskan. Dengan paket 48 ini dapat berbicara ke nomor ponsel grup si perusahaan di seluruh Indonesia selama 13 1/3 jam.
Bisa jadi, ada tawaran dan si Ibu tua mengiyakan tanpa paham betul apa yang ditawarkan dan konfirmasi yang hanya lisan dalam perjanjian ini. Sukseslah si telemarketer menambah satu lagi pelanggan dalam fitur produknya. Selain itu dari percakapan si anak juga diketahui si Ibu tua juga melanggan fitur caller ID yang memunculkan nama penelepon dari luar di telepon rumah si Ibu. Telepon rumah si Ibu tua tidak ada layarnya! Tapi ini relatif murah biaya per bulannya: Rp 5 ribu.
Ternyata rumah kosong tiga bulan itu menjadi berkah, karena akhirnya diketahui bahwa selama +-24 bulan ada 320 jam atau 19.200 menit peluang bertelekomunikasi dari sambungan yang telah dibayar yang tidak dimanfaatkan. Jika rata-rata bicara 10 menit ada 1.920 kali percakapan yang dapat dilakukan. Tapi biaya ini akhirnya dipindahkan ke operator seluler sementara yang-sudah-terlanggan dari telepon rumah tidak dipakai: BEBAN GANDA.
Kebanggan bahwa pelanggan ponsel di Indonesia adalah ke-4 terbesar di dunia, jangan-jangan dengan meng'hilang'kan dengan cepat kegunaan dari telepon rumah. Kanibalisme, mencontoh praktik otopart bisnis transportasi umum jaman dulu, jangan-jangan juga terjadi.
Di 2016 ada 149 ponsel untuk setiap 100 orang. Ini #PeringkatIndonesia di nomor 24 dunia dalam keberpemilikan alat telekomunikasi ini. Berapa yang berupa ponsel cerdas/smartphone? Apakah anda serupa dengan dugaan sebuah survei persepsi 38 negara di dunia bahwa ada orang Indonesia pikir ada 85 dari 100 orang Indonesia yang miliki smartphone? Jawabannya hanya 21 dari 149 ini.
Dapat diduga persepsi dari perusahaan telekomunikasi, telemarketer-nya, si Ibu tua dan kelurganya dan mungkin mewakili yang belum menghilang (seperti 75% yang sudah) yang membuat ada biaya ganda, manfaat yang terbuang percuma. Seperti masyarakat Indonesia masih dapat digunting penghasilannya yang sudah sedikit. Seperti kebodohan, kekurangpedulian yang berakibat hilangnya nikmat.
Ah, Indonesia. Kapan kau jadi lebih berarti???
Sisipan:
Arti lain tele:
Ketika mengunjungi si Ibu tua, dengan informasi nomor telepon layanan pelanggan berbicaralah dengan petugas yang (seperti banyak call center lain) memiliki nama depan, entah nama belakangnya dan entah itu asli atau tidak. Informasinya mencengangkan:
si Ibu tua ternyata sudah 2 tahun lebih berlangganan paket bicara 13 jam ke ponsel yang dibebankan flat per bulan tanpa diketahui oleh si Ibu tua, apalagi si Ayah, dan juga oleh semua anggota keluarga si Ibu tua.
Artinya fasilitas ini tidak digunakan oleh mereka karena menghindari biaya sambung ke ponsel dari telepon rumah yang dipersepsi mahal. Dan si Ibu dan anggota keluarga lainnya memilih untuk memakai ponsel dengan paket-paket bicara satuan, atau cara lainnya dalam bertelekomunikasi. Anyway, ada paket Rp 48 ribu yang ditawarkan khusus dari telemarketing si perusahaan dan paket Rp 88 ribu yang telah dihapuskan. Dengan paket 48 ini dapat berbicara ke nomor ponsel grup si perusahaan di seluruh Indonesia selama 13 1/3 jam.
Bisa jadi, ada tawaran dan si Ibu tua mengiyakan tanpa paham betul apa yang ditawarkan dan konfirmasi yang hanya lisan dalam perjanjian ini. Sukseslah si telemarketer menambah satu lagi pelanggan dalam fitur produknya. Selain itu dari percakapan si anak juga diketahui si Ibu tua juga melanggan fitur caller ID yang memunculkan nama penelepon dari luar di telepon rumah si Ibu. Telepon rumah si Ibu tua tidak ada layarnya! Tapi ini relatif murah biaya per bulannya: Rp 5 ribu.
Ternyata rumah kosong tiga bulan itu menjadi berkah, karena akhirnya diketahui bahwa selama +-24 bulan ada 320 jam atau 19.200 menit peluang bertelekomunikasi dari sambungan yang telah dibayar yang tidak dimanfaatkan. Jika rata-rata bicara 10 menit ada 1.920 kali percakapan yang dapat dilakukan. Tapi biaya ini akhirnya dipindahkan ke operator seluler sementara yang-sudah-terlanggan dari telepon rumah tidak dipakai: BEBAN GANDA.
Kebanggan bahwa pelanggan ponsel di Indonesia adalah ke-4 terbesar di dunia, jangan-jangan dengan meng'hilang'kan dengan cepat kegunaan dari telepon rumah. Kanibalisme, mencontoh praktik otopart bisnis transportasi umum jaman dulu, jangan-jangan juga terjadi.
Sumber: World Bank |
Dapat diduga persepsi dari perusahaan telekomunikasi, telemarketer-nya, si Ibu tua dan kelurganya dan mungkin mewakili yang belum menghilang (seperti 75% yang sudah) yang membuat ada biaya ganda, manfaat yang terbuang percuma. Seperti masyarakat Indonesia masih dapat digunting penghasilannya yang sudah sedikit. Seperti kebodohan, kekurangpedulian yang berakibat hilangnya nikmat.
Ah, Indonesia. Kapan kau jadi lebih berarti???
Sisipan:
Arti lain tele:
Comments
Post a Comment