Dugaan bahwa kategori nomor (5) di alinea berikut #PeringkatIndonesia buruk karena hutangnya banyak perlu dikesampingkan. Dugaan bahwa harapan hidup di Indonesia dengan damai dan sehat hingga tua (2) juga perlu dikesampingkan. Dugaan bahwa polusi karbon (6) di Indonesia masih tertolong hutan tropis dsb, juga sangat perlu dikesampingkan. Inilah tulisan fakta riset World Economic Forum tentang Indonesia. Ingat Indonesia lumayan juara mispersepsi Per definisi pakai bahasa (diupayakan) sederhana, Indeks Pembangunan Inklusif (IBI) bicara apakah kebijakan struktur dan kelembagaan sebuah perekonomian sudah pro pada: (1) Penciptaan lapangan pekerjaan, (2) Harapan hidup sehat, (3) Sedikit orang miskinnya, (4) Merata kemakmurannya, (5) Sedikit proporsi hutang negaranya, dan (6) Polusi karbonnya dari ekonominya minimal. Ini baru sebagian dari sub pilar dan pilar lainnya, untuk teknisnya dapat menjadi bahan diskusi lebih jauh. Memakai kategori peringkat 'Di Kelas' a la aba-amba maka ...
'Ibu tua ini lebih hebat dari Indrawati, Merkel, dan Lagarde'; 1/2 jam untuk sampai pada simpulan itu (2)
Klik di sini untuk bagian pertama tulisan
Tak ada protes bahkan gumaman ketika ia harus gagal duduk. Saya sedikit merasa bersalah sempat membuatnya merasa mendapat harapan palsu. Si ibu kulit mukanya telah mengendur tapi keteguhan tetap terlihat dari mukanya. Pakaiannya pun sederhana, hanya hijab berbahan kaus dan pakaian perempuan sederhana lainnya. Tidak seperti ibu hamil di kanannya yang sepertinya karyawan perusahaan, atau ibu paruh baya di depannya yang sepertinya aktif di kegiatan perumahan, atau ibu muda dengan balita sehat yang sepertinya berbusana muslim modis khas orang berpunya.
Si ibu menggenggam pegangan berbentuk segitiga di atas kepalanya yang sepertinya masih tergapai. 10 menit berlalu saya, yang lalu berdiri tepat di belakanganya, melihat ada sedikit gemetaran dalam pegangannya. Ia sepertnya tak surut, kembali dikencangkannya pegangan tangannya itu. Si ibu muda yang hamil di kanan, sempat bercakap ramah ke si ibu, saya tak memperhatikan isinya. Tapi jelas menangkap si ibu tetap tangguh. Si ibu aktivis kegiatan perumahan di depan mulai menunduk dan menutupi keningnya. Para pemain Ludo King tetap bersemangat dengan hiburannya. Si ibu membawa balita di kanan, mulai menyuruh si anak yang bermain Plants vs. Zombies terbaru untuk menyimpan gadget di tasnya anak itu lalu didudukkan di undakan kecil di ujung kereta. Andai ia mau bergantian dengan si ibu.
Saya pun mulai terbayang, bahwa ibu ini adalah gambaran kekuatan, keteguhan, semangat, kemandirian, pantang dikasihani perempuan Indonesia. Sempat tersenggol saat saya memindahkan tangan, si ibu menengok dan tersenyum, saya juga. Lalu saya usulkan agar dia memegang dua pegangan di besi yang tersedia. Dia menjawab tidak bisa karena tangan kirinya memegang bungkusan makanan yang sepertinya oleh-oleh untuk keluarga di rumah. Rak tempat tas di atas penuh, sebagian oleh bawaan saya.
10 menit kemudian, sepertinya mulai terkantuk. Mungkin cuaca, mungkin letih, mungkin oksigen yang tipis, tangan si ibu kembali gemetaran. Kulit tangannya sudah menunjukkan umur, bau khas orang lanjut usianya mengingatkan pada nenek tercinta yang sering membelai kepala saya di waktu kecil. Oh, kenapa perempuan seperti ini sepertinya tidak mendapatkan haknya untuk diutamakan. Dan jelas dia bukan perempuan semacam itu. Sepertinya baginya rezeki Tuhan untuk dapat membayar murah untuk perjalannya sampai tujuan sudah cukup.
Beberapa stasiun kemudian, saya dapat bernafas lega. Ibu paruh baya sudah turun, tugas saya 'menjaga' kalau tiba-tiba si ibu terbawa goncangan kereta sudah selesai. Alasan saya tidak bersikeras mencarikan tempat di awal karena saya sudah cukup demonstratif 3 kali, saat ada perempuan hamil pertama sekali yang akhirnya saya antarkan ke mas muda bangku non-prioritas, perempuan hamil lain yang membuat saya memeriksa apakah bapak membawa remaja yang ternyata sakit dapat berikan tempat dan saat 'memindahkan' si ibu dari tengah area pintu. Pemalas memang, tapi jika kejadiannya lain, tak akan terbayang Indrawati, Merkel, Lagarde, Kartini, Khadijah dan perempuan hebat lainnya.
Belum selesai saya dibuat terkagum, saat duduk bukan desahan tapi ucapan syukur yang keluar dari mulutnya. Bukannya ketidak pedulian akibat lelah, tapi ramah tamah lembut menyapa bocah sehat yang dipangku ibu sehat di sebelahnya. Belum selesai, ia bergeser ke sisi kanan saat si ibu hamil di bangku kanan turun di stasiun berikutnya. Melihat ke saya seperti menawarkan tempat duduk, tempat itu akhirnya ditempati bapak paruh baya yang asik dengan smartphone-nya yang awalnya ada di kanan berdirinya. Saya tersenyum dan di menit itu tiba-tiba ia menjadi seorang ibu yang layak untuk disalami dan tangannya diletakkan di kening saya. Hormat. Betapa sedikit ia mendahulukan kepentingan dirinya sendiri, ia tulus memperhatikan orang lain.
Bercakap dengan si bapak, ibu ini mengatakan ia bergeser ke kanan karena lebih nyaman. Duh, saya lagi-lagi menghayal ia menutupi niat baiknya yang jelas terlihat. Jauhlah dari orang-orang, termasuk saya, yang acap memamerkan diri pada setiap kesempatan. Indrawat, Merkel bahkan Tatcher perlu belajar dari ibu ini bahwa action speaks louder than words dan bahwa memenangkan hati tak perlu dengan kekuatan dan kekuasaan. Tak perlu santai seolah serius, tak perlu berpura-pura atau bersungguh-sungguh bodoh dan tak pedulian, tak perlu pamer kesepian kemana-mana karena ia sebarkan aura hormat tanpa batik mahal, tas kesombongan, gandengan instagramable, atau hal-hal palsu lainnya.
Tiba-tiba saya harus turun, lamunan harus terhenti. Padahal sudah rancang skenario untuk sampaikan ke si ibu betapa hebatnya dia di mata saya. Betapa saya melihat bahwa inilah sosok perempuan yang perlu memenuhi seantero Nusantara. Sibuk menurunkan kardus dan tas bawaan dan bermisi-misi untuk turun, hanya sempat ucapkan, "mari, Bu" saat si ibu seperti melepas keberangkatan menuju cita-cita saya. Ibu saya sendiri pun sering melakukan ini. Si ibu ini seperti menyampaikan bahwa meski kita hanya bertemu setengah jam lebih karena berada di tempat yang sama untuk kepentingan yang sama, tidak berarti kita harus kehilangan kemanusiaan kita dan menjadi setengah-robot hanya demi tidak tergilas gerinda Area Metropolitan Jakarta.
Prestasi perempuan hebat terkenal memang mendapat acungan jempol dunia, tapi saya berhenti untuk terkecoh oleh penampilan, karena gemuruh dada, petir pemikiran, dan hangatnya hati, kata-kata tertulis yang bahkan tak bisa menjabarkan kesan mendalam dari si ibu bagi saya di setengah jam itu. Hingga kini 18 jam kemudian, masih tertinggal haru itu. Ibu itu adalah perlambang karakter perempuan Indonesia yang nyata.
Tak ada protes bahkan gumaman ketika ia harus gagal duduk. Saya sedikit merasa bersalah sempat membuatnya merasa mendapat harapan palsu. Si ibu kulit mukanya telah mengendur tapi keteguhan tetap terlihat dari mukanya. Pakaiannya pun sederhana, hanya hijab berbahan kaus dan pakaian perempuan sederhana lainnya. Tidak seperti ibu hamil di kanannya yang sepertinya karyawan perusahaan, atau ibu paruh baya di depannya yang sepertinya aktif di kegiatan perumahan, atau ibu muda dengan balita sehat yang sepertinya berbusana muslim modis khas orang berpunya.
Si ibu menggenggam pegangan berbentuk segitiga di atas kepalanya yang sepertinya masih tergapai. 10 menit berlalu saya, yang lalu berdiri tepat di belakanganya, melihat ada sedikit gemetaran dalam pegangannya. Ia sepertnya tak surut, kembali dikencangkannya pegangan tangannya itu. Si ibu muda yang hamil di kanan, sempat bercakap ramah ke si ibu, saya tak memperhatikan isinya. Tapi jelas menangkap si ibu tetap tangguh. Si ibu aktivis kegiatan perumahan di depan mulai menunduk dan menutupi keningnya. Para pemain Ludo King tetap bersemangat dengan hiburannya. Si ibu membawa balita di kanan, mulai menyuruh si anak yang bermain Plants vs. Zombies terbaru untuk menyimpan gadget di tasnya anak itu lalu didudukkan di undakan kecil di ujung kereta. Andai ia mau bergantian dengan si ibu.
Saya pun mulai terbayang, bahwa ibu ini adalah gambaran kekuatan, keteguhan, semangat, kemandirian, pantang dikasihani perempuan Indonesia. Sempat tersenggol saat saya memindahkan tangan, si ibu menengok dan tersenyum, saya juga. Lalu saya usulkan agar dia memegang dua pegangan di besi yang tersedia. Dia menjawab tidak bisa karena tangan kirinya memegang bungkusan makanan yang sepertinya oleh-oleh untuk keluarga di rumah. Rak tempat tas di atas penuh, sebagian oleh bawaan saya.
10 menit kemudian, sepertinya mulai terkantuk. Mungkin cuaca, mungkin letih, mungkin oksigen yang tipis, tangan si ibu kembali gemetaran. Kulit tangannya sudah menunjukkan umur, bau khas orang lanjut usianya mengingatkan pada nenek tercinta yang sering membelai kepala saya di waktu kecil. Oh, kenapa perempuan seperti ini sepertinya tidak mendapatkan haknya untuk diutamakan. Dan jelas dia bukan perempuan semacam itu. Sepertinya baginya rezeki Tuhan untuk dapat membayar murah untuk perjalannya sampai tujuan sudah cukup.
Beberapa stasiun kemudian, saya dapat bernafas lega. Ibu paruh baya sudah turun, tugas saya 'menjaga' kalau tiba-tiba si ibu terbawa goncangan kereta sudah selesai. Alasan saya tidak bersikeras mencarikan tempat di awal karena saya sudah cukup demonstratif 3 kali, saat ada perempuan hamil pertama sekali yang akhirnya saya antarkan ke mas muda bangku non-prioritas, perempuan hamil lain yang membuat saya memeriksa apakah bapak membawa remaja yang ternyata sakit dapat berikan tempat dan saat 'memindahkan' si ibu dari tengah area pintu. Pemalas memang, tapi jika kejadiannya lain, tak akan terbayang Indrawati, Merkel, Lagarde, Kartini, Khadijah dan perempuan hebat lainnya.
Belum selesai saya dibuat terkagum, saat duduk bukan desahan tapi ucapan syukur yang keluar dari mulutnya. Bukannya ketidak pedulian akibat lelah, tapi ramah tamah lembut menyapa bocah sehat yang dipangku ibu sehat di sebelahnya. Belum selesai, ia bergeser ke sisi kanan saat si ibu hamil di bangku kanan turun di stasiun berikutnya. Melihat ke saya seperti menawarkan tempat duduk, tempat itu akhirnya ditempati bapak paruh baya yang asik dengan smartphone-nya yang awalnya ada di kanan berdirinya. Saya tersenyum dan di menit itu tiba-tiba ia menjadi seorang ibu yang layak untuk disalami dan tangannya diletakkan di kening saya. Hormat. Betapa sedikit ia mendahulukan kepentingan dirinya sendiri, ia tulus memperhatikan orang lain.
Bercakap dengan si bapak, ibu ini mengatakan ia bergeser ke kanan karena lebih nyaman. Duh, saya lagi-lagi menghayal ia menutupi niat baiknya yang jelas terlihat. Jauhlah dari orang-orang, termasuk saya, yang acap memamerkan diri pada setiap kesempatan. Indrawat, Merkel bahkan Tatcher perlu belajar dari ibu ini bahwa action speaks louder than words dan bahwa memenangkan hati tak perlu dengan kekuatan dan kekuasaan. Tak perlu santai seolah serius, tak perlu berpura-pura atau bersungguh-sungguh bodoh dan tak pedulian, tak perlu pamer kesepian kemana-mana karena ia sebarkan aura hormat tanpa batik mahal, tas kesombongan, gandengan instagramable, atau hal-hal palsu lainnya.
Tiba-tiba saya harus turun, lamunan harus terhenti. Padahal sudah rancang skenario untuk sampaikan ke si ibu betapa hebatnya dia di mata saya. Betapa saya melihat bahwa inilah sosok perempuan yang perlu memenuhi seantero Nusantara. Sibuk menurunkan kardus dan tas bawaan dan bermisi-misi untuk turun, hanya sempat ucapkan, "mari, Bu" saat si ibu seperti melepas keberangkatan menuju cita-cita saya. Ibu saya sendiri pun sering melakukan ini. Si ibu ini seperti menyampaikan bahwa meski kita hanya bertemu setengah jam lebih karena berada di tempat yang sama untuk kepentingan yang sama, tidak berarti kita harus kehilangan kemanusiaan kita dan menjadi setengah-robot hanya demi tidak tergilas gerinda Area Metropolitan Jakarta.
Prestasi perempuan hebat terkenal memang mendapat acungan jempol dunia, tapi saya berhenti untuk terkecoh oleh penampilan, karena gemuruh dada, petir pemikiran, dan hangatnya hati, kata-kata tertulis yang bahkan tak bisa menjabarkan kesan mendalam dari si ibu bagi saya di setengah jam itu. Hingga kini 18 jam kemudian, masih tertinggal haru itu. Ibu itu adalah perlambang karakter perempuan Indonesia yang nyata.
Comments
Post a Comment