Dugaan bahwa kategori nomor (5) di alinea berikut #PeringkatIndonesia buruk karena hutangnya banyak perlu dikesampingkan. Dugaan bahwa harapan hidup di Indonesia dengan damai dan sehat hingga tua (2) juga perlu dikesampingkan. Dugaan bahwa polusi karbon (6) di Indonesia masih tertolong hutan tropis dsb, juga sangat perlu dikesampingkan. Inilah tulisan fakta riset World Economic Forum tentang Indonesia. Ingat Indonesia lumayan juara mispersepsi Per definisi pakai bahasa (diupayakan) sederhana, Indeks Pembangunan Inklusif (IBI) bicara apakah kebijakan struktur dan kelembagaan sebuah perekonomian sudah pro pada: (1) Penciptaan lapangan pekerjaan, (2) Harapan hidup sehat, (3) Sedikit orang miskinnya, (4) Merata kemakmurannya, (5) Sedikit proporsi hutang negaranya, dan (6) Polusi karbonnya dari ekonominya minimal. Ini baru sebagian dari sub pilar dan pilar lainnya, untuk teknisnya dapat menjadi bahan diskusi lebih jauh. Memakai kategori peringkat 'Di Kelas' a la aba-amba maka ...
Versi baru dari jargon yang terkenal beberapa dekade lalu, saat ini kondisi pikiran dan tindakan serta perilaku warga Indonesia khususnya Jabotabek atau Jakarta dapat dijelaskan dengan tiga kata ini. Hasil dari santai seolah serius (lk. sama dengan santai tapi serius) adalah Peringkat Daya Saing Indonesia yang hanya di peringkat 34 (dari 140) negara, perkembangan kebudayaan, kesenian dan olah raga yang begitu-begitu saja, prospek generasi muda yang satu hingga tiga dekade lagi akan jadi ujung tombak produktivitas negara yang tak berjalan kemana-mana, kualitas pendidikan tinggi sebagai bukti kecerdasan dari generasi terpilih yang stagnan di rentang itu-itu saja, pertambahan penghasilan negara atau rata-rata setiap warganya yang tidak membawa kemaslahatan bangsa lebih secara relatif dibanding saat teritori ini belum bernama Indonesia bebapa abad lalu.
Penjelas dari kebiasaan santai seolah serius ini, secara santai, mau tak mau adalah warga Jakarta (yang bisa diperluas ke kumpulan Jabodetabek) karena penulis blog ini mungkin contoh paling nyata dari slogan santai tapi serius ini. Selain itu, baru Jakarta yang data-datanya, kebiasaan-kebiasaannya disorot secara lebih serius seolah santai oleh banyak pikak (contohnya trending Jakarta di twitter diperkirakan lebih mirip trending Indonesia-all cities dibanding Palembang misalnya). Daerah lain, kota ataupun desa di Indonesia, mungkin lebih serius (tetap seolah santai) untuk menyatakan ketertutupan budaya, hasil kerja dan tradisi. Ini serius (tapi santai).
Dari sekitar 10,37 juta warga Jakarta bagian dari sekitar 31,7 juta warga Jabodetabek, hanya sekita 1 juta penumpang dengan kereta dalam kota per harinya; bandingkan dengan Area Metropolitan Tokyo-TMA, ada 37,8 juta warga dengan 40 juta penumpang kereta per hari. Itu baru serius bertranspor namanya. Benar 40 juta karena ada dua ribuan stasiun dibanding Jabodetabek (munkin bagus dinamai Area Metropolitan Jakarta) yang hanya punya 75 stasiun dengan panjang km yang sepersepuluh TMA. Pembelaan santai seolah serius; bisa jadi karena warga lainnya memakai bis rapid (baru di bawah 500 ribu per hari), mobil pribadi atau niaga (sekita 3 juta unit), motor (sekitar 13 juta). Jikapun semua pemilik motor dan mobil keluar setiap hari baru ada 17,5 juta perjalanan. Sisanya, mungkin kehidupan produktifnya tak sempat melewati lebih dari 2 lampu lalu lintas. Indonesia sendiri punya 56 juta usaha kecil menengah. Usaha menengah omset 3-25 miliar, kecil belum lagi mikro dan ultra-mikro justru hampir semua dari jumlah ini. UKM menyerap 94% dari seluruh tenaga kerja di negara dan berkontribusi 45-60% terhadap penghasilan total negara. Santai seolah seriusnya, profesi dan usaha selain UKM ini yang punya status lebih tinggi.
Kembali ke Jakarta (atau dapat dipertukarkan pandangan dengan Area Metropolitan Jakarta-Jabodetabek) yang bergerak (bertrasnpor) tadi, anggaplah ada 4 juta (17,5 juta AMJ) yang berpindah-pindah dari lokasi rumah menuju tempat usaha atau bekerjanya lalu perbandingkan dengan tingkat kemacetan. Di 2017 Jakarta ada di peringkat 17 (tahun sebelumnya 22) kota paling macet dengan 63 jam setahun habis di tengah macet. 75% persen penyumbang polusi: kendaraan bermotor. Ada yang menyebut 22 hari setahun habis di macet, malahan. Waktu berkualitas ini terbuang, belum lagi bahan bakar, kesehatan umum lingkungan hidup. Bagaimana warga bergerak ini mengisi waktu perjalanannya? Bukan dengan membaca berita (asumsinya online) karena hanya 20% yang membaca berita dari perangkat yang mereka bawa. Hiburan, liburan, belanjaan, obrolan (dan dicurigai bibit perselingkuhan) itu pengisi waktunya. Entah sadar atau tidak ini adalah perilaku santai seolah serius.
Yang lebih memuakkan adalah cara memeroleh kesantaian seolah serius di jalan ini dengan arogansi penuh. Suatu kali penulis blog yang menumpang bus rapid yang telah tertahan lama dalam perjalanan berpindah-pindah demi menghemat sedikit waktu, menunggu di halte di Gatot Subroto, jalur bis ini secara hukum harus steril dari mobil lain dan motor. Melakukan aksi jongkok sambil geleng-geleng kepala pada setiap sopir dan penumpang kendaraan yang seolah pemilik kota memasuki jalur ini dan semakin tertahanlah di bis yang ditunggu (rekor menurut kondektur 6 jam dari Kampung Rambutan ke Pluit). Dari sekian pelanggar, seorang sopir berkemeja berdasi serta penumpang sebelahnya dengan setelan berlagak kaya tapi murahan lainnya menghina aksi jongkok dan geleng-geleng ini dengan tertawa (keroyokan) sambil meniru gelengan kepala seperti leher anjing-anjingan hiasan dashboard mobil dulu dengan gerakan joget badan seperti babi-babian kartun yang kegirangan dengan joget tak sinkron dengan musik yang tidak dimengerti sebagai gambaran selera rendah. Prihatin pada tabiat seperti dari peniknmat mobil niaga kelas murahan ini. Rombongan yang melintas sepertinya mengejar pintu masuk yang lebih mudah ke tol dalam kota. Murah sekali biaya untuk berperilaku santai seolah serius dengan menginjak hak orang banyak di kota ini.
Baiklah kembali ke tema utama. Masuk ke ruang kantor atau usaha. Santai; mereka hampir semua bekerja; seolah serius. Sibuk. Sibuk. Rapat. Rapat. Seminar. Seminar. Kunjungan. Kunjungan. Santai seolah serius kata kuncinya. Kerja di meja (biasanya penuh arsip, biar seolah serius) atau komputer kantor berisi tumpukan (bit-an) laporan administrasi sehingga seolah-olah administrasi adalah fungsi utama perusahaan atau bisnis itu ada. Laporan administrasi ini sebagian besar santai tapi serius. Tak banyak fungsi untuk perbaikan keputusan. Rapat-rapat yang tidak kompak waktu mulainya, tanpa agenda keputusan atau tujuan rapat yang jelas sehingga hanya dipenuhi bualan, agitasi, ancaman, dan sebagian ceramah moralitas (anda termasuk jika tidak rasakan ini). Selesainya pun tak diketahui kecuali ternyata lelaki atau pria Alfanya bilang rapat selesai. Seminar dan sejenisnya pun sama. Alat pelatihan dan pengembangan ini dijadwalkan secara santai seolah serius. Cirinya: dimulai terlambat atau pesertanya asik di luar, saat dimulai sontak semua seolah serius (dalam kesantaian) meski seringkali pembicaraan dengan bahasa tinggi ini hanya dimengerti 20% peserta dan akan lebih sedikit jika dibawakan dalam bahasa negara lain. Seminar santai seolah serius. Kunjungan kerja bisa ke pabrik atau kantor pusat atau sebaliknya cabang tujuannya santai seolah serius untuk penyebaran informasi, pengenalah produk dan sistem baru serta banyak mantra manajemen lainnya. Tapi ujungnya serius seolah santai untuk isi akhir hari dengan hiburan, liburan, belanjaan, obrolan (dan dicurigai bibit perselingkuhan) atau bahkan mungkin persekongkolan sebagai upaya membuat gerombolan (diketahui mereka yang bertahan di perusahaan besar adalah yang jago berpolitik). Seriusnya kesantaian ini. Perusahaan besar negara ini baru 1 - 2 yang masuk lalu keluar lagi dari daftar 500 perusahaan berpenghasilan terbesar di dunia. Ah, santai tapi serius!
Kehidupan pribadi warga tak kalah 3S-nya. Di rumah-rumah ada puluhan perintah harian untuk seolah serius kepada satu sama lain anggota keluarga. Cepat bangun, cepat ke sekolah, ke kantor, ke pasar, ke acara sosial, cepat beribadah, cepat ini, cepat itu. Yang hasilnya dapat berupa anggota keluarga yang pasif agresif dan hobi berat menunda-nunda. Keluarga satu bertemu keluarga lain di lingkungan perumahan atau dalam acara kerabat penuh dengan keseriusan untuk santai yang dipaksakan dimana perbanding-bandingan siapa sudah apa, sudah punya apa, sudah kemana jadi topik. Bahkan untuk anak-anak kecil pun bertemu anak tetangga, sepupu atau 'saudara' lainnya menjadi seperti bertemu musuh dalam lomba.
Urusan dengan Tuhan pun dilaksanakan sebagian warga dengan santai seolah serius yang sama. Sepertinya amat penting memakai batik/baju koko dengan motif termahal padalah Rasul Allah pun tak suka ke'sombongan' berpakaian dan motif dan tulisan bermacam yang mengganggu konsentrasi jemaah di belakang terutamanya. Sejadah lebar dan indah yang ganggu kerapatan shaf dan konsentrasi si miskin di samping. Sarung (yang entah ini apakah produk agama atau budaya) dengan motif mengganggu dengan merek sangat mengganggu yang dipajang tepat beberapa sentimeter dari tempat mata harus memandang. Siasat dagang mengganggu! Banyak lagi keseriusan seolah santai di mesjid. Jemaat gereja sepertinya lebih santai seolah serius setelah acara rutin mingguan saat bercengkrama antar keluarga. Tapi ini seperti memindahkan acara keluarga bertemu keluarga di acara keagamaan. Beberapa rekan penulis sepertinya setuju bahwa inilah kesan yang terjadi. Dalam hal yang sama kehidupan beragama dari pemeluk agama lain dapat diduga juga adalah cerminan ketiga kata ini.
Sekarang hasilnya, posisi daya saing negara adalah hal serius yang dilakukan untuk melihat semangat suatu negara. Peringkat 34 dalam daya saing dari negara yang penghasilan totalnya peringkat ke 7 dunia versi paritas daya beli (ke-16 versi dollar). Dalam produk kebudayaan Indonesia ada di belakang banyak negara, paling mudah dilihat adalah apa yang tersebar di televisi dan media sosial. Seni musik, film dan seni pementasan lainnya, seni tari-tarian dan lukis; prestasi olah raga hampir seluruhnya tidak ada yang menonjol. Seni kerajinan mungkin dapat dikecualikan (ingat 56 juta UKM tadi). Prestasi tak menonjol jelas-jelas adalah dampak sinergi kehidupan bernegara yang belumlah positif. Skor PISA membandingkan skor matematika, membaca dan sains murid berumur 15 tahun. Ada di peringkat enam puluhan dari tujuh puluhan negara, dan seperti langit dan bumi dibanding si kecil Singapura yang terbukti ada di peringkat satu.
Ini gambaran kualitas angkatan keraj 10 hingga 30 tahun dari sekarang. Pendidikan tinggi pun sama saja, gambaran profesional, birokrat atau yang lebih sedikit wirausahawa-n/ti dengan pendidikan tinggi 1 hingga 20 tahun ke depan ini pun stagnan. Di negara maju, universitas sudah mulai dimiripkan dengan gereja di masa pertengahan, berkuasa atas kebeneraran tapi terkorupsi idealismenya. Peringkat universitas dan pendidikan tinggi puncak di Indonesia juga seperti bandul statis, di situ-situ saja. Meski jumlah institusi pendidikan tinggi yang ditengarai bahkan lebih banyak dari Cina yang sekitar lima kali lebih banyak penduduknya. Pendidikan-pendidikan tinggi ini seperti seolah idealis, seolah moralis, santai seolah serius. Hasil tulisan ilmiah tak bantu kemajuan. Lapangan kerja besar 'orang-orang pintar' dari porsi belanja negara yang besar untuk industri edukasi hasilnya sepertinya masih orang-orang santai seolah serius belum sampai tahapan menghasilkan sarjana-sarjana tercerahkan. Santai seolah serius, semoga saya salah duga.
Di tahun 1815 penghasilan per kepala warga (bangsa Indonesia) adalah $755 (semua angka disesuaikan inflasi dengan angka konstan tahun 2011), terakhir (2016) adalah $10.551 dalam 2 abad ini peningkatan per tahunnya hanya 1,32% per tahun (cagr.). Pun dibandingkan 1949 dengan sekarang peningkatan per tahunnya hanya 3,48% per tahun (cagr.). Malaysia sejak 1957 naik 4,25% per tahun (cagr.), Singapura 6,49% per tahun (cagr.) sejak 1965. Penghasilan per kepala yang besar ini masih di bawah hampir 100 negara lain dan seolah seperti lambat dicapai karena Amerika Serikat mencapai angka 10 ribu dolar per kepalanya di tahun 1929 saat itu Depresi Akbar melanda, Inggris di dua tahun sebelum akhir Perang Dunia II. itu 70 hingga 90 tahun lalu. Banyak penduduk belum tentu banyak rejeki mungkin. Santai seolah serius, setidaknya masih tumbuh baik.
Ada dugaan ilmuwan serius yang lakukan studi 30 tahunannya bahwa selat Sunda, selat Malaka dan pulau dan semenanjung di sekitarnya adalah Taprobane sesungguhnya yang adalah Atlantis Plato yang hilang ribuan tahun lalu karena letusan dua gunung Krakatau (bukan yang di 1883) dan Toba. Mungkin saat lebih serius, sumberdaya negara ini bisa menemukan jejak kejayaan ini jika memang ada semisal apakah Gunung Padang ternyata adalah benar Piramida dan stensilan tapak tangan di gua-gua Kalimantan dari belasan ribu tahun lalu benar-benar akan berbicara. Mungkin hingga negara ini cukup cerdas dan bersinergi, kaya yang memakmurkan dan berpengaruh untuk bangkitkan batu dan tumbuhan terendam ini. Mungkin hingga Tuhan takdirkan saat itu, warga dan hasil karyanya tetaplah........... (sekarang anda mudah-mudahan sudah hapal tiga kata itu dan urutannya) Mudah-mudahan juga kamu juga santai membacanya dan mudah-mudahan tidak terlalu serius karena belum usulkan solusinya. Terima kasih untuk itu. 3S = Santai Seolah Serius.
Penjelas dari kebiasaan santai seolah serius ini, secara santai, mau tak mau adalah warga Jakarta (yang bisa diperluas ke kumpulan Jabodetabek) karena penulis blog ini mungkin contoh paling nyata dari slogan santai tapi serius ini. Selain itu, baru Jakarta yang data-datanya, kebiasaan-kebiasaannya disorot secara lebih serius seolah santai oleh banyak pikak (contohnya trending Jakarta di twitter diperkirakan lebih mirip trending Indonesia-all cities dibanding Palembang misalnya). Daerah lain, kota ataupun desa di Indonesia, mungkin lebih serius (tetap seolah santai) untuk menyatakan ketertutupan budaya, hasil kerja dan tradisi. Ini serius (tapi santai).
Dari sekitar 10,37 juta warga Jakarta bagian dari sekitar 31,7 juta warga Jabodetabek, hanya sekita 1 juta penumpang dengan kereta dalam kota per harinya; bandingkan dengan Area Metropolitan Tokyo-TMA, ada 37,8 juta warga dengan 40 juta penumpang kereta per hari. Itu baru serius bertranspor namanya. Benar 40 juta karena ada dua ribuan stasiun dibanding Jabodetabek (munkin bagus dinamai Area Metropolitan Jakarta) yang hanya punya 75 stasiun dengan panjang km yang sepersepuluh TMA. Pembelaan santai seolah serius; bisa jadi karena warga lainnya memakai bis rapid (baru di bawah 500 ribu per hari), mobil pribadi atau niaga (sekita 3 juta unit), motor (sekitar 13 juta). Jikapun semua pemilik motor dan mobil keluar setiap hari baru ada 17,5 juta perjalanan. Sisanya, mungkin kehidupan produktifnya tak sempat melewati lebih dari 2 lampu lalu lintas. Indonesia sendiri punya 56 juta usaha kecil menengah. Usaha menengah omset 3-25 miliar, kecil belum lagi mikro dan ultra-mikro justru hampir semua dari jumlah ini. UKM menyerap 94% dari seluruh tenaga kerja di negara dan berkontribusi 45-60% terhadap penghasilan total negara. Santai seolah seriusnya, profesi dan usaha selain UKM ini yang punya status lebih tinggi.
Kembali ke Jakarta (atau dapat dipertukarkan pandangan dengan Area Metropolitan Jakarta-Jabodetabek) yang bergerak (bertrasnpor) tadi, anggaplah ada 4 juta (17,5 juta AMJ) yang berpindah-pindah dari lokasi rumah menuju tempat usaha atau bekerjanya lalu perbandingkan dengan tingkat kemacetan. Di 2017 Jakarta ada di peringkat 17 (tahun sebelumnya 22) kota paling macet dengan 63 jam setahun habis di tengah macet. 75% persen penyumbang polusi: kendaraan bermotor. Ada yang menyebut 22 hari setahun habis di macet, malahan. Waktu berkualitas ini terbuang, belum lagi bahan bakar, kesehatan umum lingkungan hidup. Bagaimana warga bergerak ini mengisi waktu perjalanannya? Bukan dengan membaca berita (asumsinya online) karena hanya 20% yang membaca berita dari perangkat yang mereka bawa. Hiburan, liburan, belanjaan, obrolan (dan dicurigai bibit perselingkuhan) itu pengisi waktunya. Entah sadar atau tidak ini adalah perilaku santai seolah serius.
Yang lebih memuakkan adalah cara memeroleh kesantaian seolah serius di jalan ini dengan arogansi penuh. Suatu kali penulis blog yang menumpang bus rapid yang telah tertahan lama dalam perjalanan berpindah-pindah demi menghemat sedikit waktu, menunggu di halte di Gatot Subroto, jalur bis ini secara hukum harus steril dari mobil lain dan motor. Melakukan aksi jongkok sambil geleng-geleng kepala pada setiap sopir dan penumpang kendaraan yang seolah pemilik kota memasuki jalur ini dan semakin tertahanlah di bis yang ditunggu (rekor menurut kondektur 6 jam dari Kampung Rambutan ke Pluit). Dari sekian pelanggar, seorang sopir berkemeja berdasi serta penumpang sebelahnya dengan setelan berlagak kaya tapi murahan lainnya menghina aksi jongkok dan geleng-geleng ini dengan tertawa (keroyokan) sambil meniru gelengan kepala seperti leher anjing-anjingan hiasan dashboard mobil dulu dengan gerakan joget badan seperti babi-babian kartun yang kegirangan dengan joget tak sinkron dengan musik yang tidak dimengerti sebagai gambaran selera rendah. Prihatin pada tabiat seperti dari peniknmat mobil niaga kelas murahan ini. Rombongan yang melintas sepertinya mengejar pintu masuk yang lebih mudah ke tol dalam kota. Murah sekali biaya untuk berperilaku santai seolah serius dengan menginjak hak orang banyak di kota ini.
Baiklah kembali ke tema utama. Masuk ke ruang kantor atau usaha. Santai; mereka hampir semua bekerja; seolah serius. Sibuk. Sibuk. Rapat. Rapat. Seminar. Seminar. Kunjungan. Kunjungan. Santai seolah serius kata kuncinya. Kerja di meja (biasanya penuh arsip, biar seolah serius) atau komputer kantor berisi tumpukan (bit-an) laporan administrasi sehingga seolah-olah administrasi adalah fungsi utama perusahaan atau bisnis itu ada. Laporan administrasi ini sebagian besar santai tapi serius. Tak banyak fungsi untuk perbaikan keputusan. Rapat-rapat yang tidak kompak waktu mulainya, tanpa agenda keputusan atau tujuan rapat yang jelas sehingga hanya dipenuhi bualan, agitasi, ancaman, dan sebagian ceramah moralitas (anda termasuk jika tidak rasakan ini). Selesainya pun tak diketahui kecuali ternyata lelaki atau pria Alfanya bilang rapat selesai. Seminar dan sejenisnya pun sama. Alat pelatihan dan pengembangan ini dijadwalkan secara santai seolah serius. Cirinya: dimulai terlambat atau pesertanya asik di luar, saat dimulai sontak semua seolah serius (dalam kesantaian) meski seringkali pembicaraan dengan bahasa tinggi ini hanya dimengerti 20% peserta dan akan lebih sedikit jika dibawakan dalam bahasa negara lain. Seminar santai seolah serius. Kunjungan kerja bisa ke pabrik atau kantor pusat atau sebaliknya cabang tujuannya santai seolah serius untuk penyebaran informasi, pengenalah produk dan sistem baru serta banyak mantra manajemen lainnya. Tapi ujungnya serius seolah santai untuk isi akhir hari dengan hiburan, liburan, belanjaan, obrolan (dan dicurigai bibit perselingkuhan) atau bahkan mungkin persekongkolan sebagai upaya membuat gerombolan (diketahui mereka yang bertahan di perusahaan besar adalah yang jago berpolitik). Seriusnya kesantaian ini. Perusahaan besar negara ini baru 1 - 2 yang masuk lalu keluar lagi dari daftar 500 perusahaan berpenghasilan terbesar di dunia. Ah, santai tapi serius!
Kehidupan pribadi warga tak kalah 3S-nya. Di rumah-rumah ada puluhan perintah harian untuk seolah serius kepada satu sama lain anggota keluarga. Cepat bangun, cepat ke sekolah, ke kantor, ke pasar, ke acara sosial, cepat beribadah, cepat ini, cepat itu. Yang hasilnya dapat berupa anggota keluarga yang pasif agresif dan hobi berat menunda-nunda. Keluarga satu bertemu keluarga lain di lingkungan perumahan atau dalam acara kerabat penuh dengan keseriusan untuk santai yang dipaksakan dimana perbanding-bandingan siapa sudah apa, sudah punya apa, sudah kemana jadi topik. Bahkan untuk anak-anak kecil pun bertemu anak tetangga, sepupu atau 'saudara' lainnya menjadi seperti bertemu musuh dalam lomba.
Urusan dengan Tuhan pun dilaksanakan sebagian warga dengan santai seolah serius yang sama. Sepertinya amat penting memakai batik/baju koko dengan motif termahal padalah Rasul Allah pun tak suka ke'sombongan' berpakaian dan motif dan tulisan bermacam yang mengganggu konsentrasi jemaah di belakang terutamanya. Sejadah lebar dan indah yang ganggu kerapatan shaf dan konsentrasi si miskin di samping. Sarung (yang entah ini apakah produk agama atau budaya) dengan motif mengganggu dengan merek sangat mengganggu yang dipajang tepat beberapa sentimeter dari tempat mata harus memandang. Siasat dagang mengganggu! Banyak lagi keseriusan seolah santai di mesjid. Jemaat gereja sepertinya lebih santai seolah serius setelah acara rutin mingguan saat bercengkrama antar keluarga. Tapi ini seperti memindahkan acara keluarga bertemu keluarga di acara keagamaan. Beberapa rekan penulis sepertinya setuju bahwa inilah kesan yang terjadi. Dalam hal yang sama kehidupan beragama dari pemeluk agama lain dapat diduga juga adalah cerminan ketiga kata ini.
Sekarang hasilnya, posisi daya saing negara adalah hal serius yang dilakukan untuk melihat semangat suatu negara. Peringkat 34 dalam daya saing dari negara yang penghasilan totalnya peringkat ke 7 dunia versi paritas daya beli (ke-16 versi dollar). Dalam produk kebudayaan Indonesia ada di belakang banyak negara, paling mudah dilihat adalah apa yang tersebar di televisi dan media sosial. Seni musik, film dan seni pementasan lainnya, seni tari-tarian dan lukis; prestasi olah raga hampir seluruhnya tidak ada yang menonjol. Seni kerajinan mungkin dapat dikecualikan (ingat 56 juta UKM tadi). Prestasi tak menonjol jelas-jelas adalah dampak sinergi kehidupan bernegara yang belumlah positif. Skor PISA membandingkan skor matematika, membaca dan sains murid berumur 15 tahun. Ada di peringkat enam puluhan dari tujuh puluhan negara, dan seperti langit dan bumi dibanding si kecil Singapura yang terbukti ada di peringkat satu.
![]() |
Sumber: PISA Score http://www.compareyourcountry.org/pisa/country/idn?lg=en |
Di tahun 1815 penghasilan per kepala warga (bangsa Indonesia) adalah $755 (semua angka disesuaikan inflasi dengan angka konstan tahun 2011), terakhir (2016) adalah $10.551 dalam 2 abad ini peningkatan per tahunnya hanya 1,32% per tahun (cagr.). Pun dibandingkan 1949 dengan sekarang peningkatan per tahunnya hanya 3,48% per tahun (cagr.). Malaysia sejak 1957 naik 4,25% per tahun (cagr.), Singapura 6,49% per tahun (cagr.) sejak 1965. Penghasilan per kepala yang besar ini masih di bawah hampir 100 negara lain dan seolah seperti lambat dicapai karena Amerika Serikat mencapai angka 10 ribu dolar per kepalanya di tahun 1929 saat itu Depresi Akbar melanda, Inggris di dua tahun sebelum akhir Perang Dunia II. itu 70 hingga 90 tahun lalu. Banyak penduduk belum tentu banyak rejeki mungkin. Santai seolah serius, setidaknya masih tumbuh baik.
Ada dugaan ilmuwan serius yang lakukan studi 30 tahunannya bahwa selat Sunda, selat Malaka dan pulau dan semenanjung di sekitarnya adalah Taprobane sesungguhnya yang adalah Atlantis Plato yang hilang ribuan tahun lalu karena letusan dua gunung Krakatau (bukan yang di 1883) dan Toba. Mungkin saat lebih serius, sumberdaya negara ini bisa menemukan jejak kejayaan ini jika memang ada semisal apakah Gunung Padang ternyata adalah benar Piramida dan stensilan tapak tangan di gua-gua Kalimantan dari belasan ribu tahun lalu benar-benar akan berbicara. Mungkin hingga negara ini cukup cerdas dan bersinergi, kaya yang memakmurkan dan berpengaruh untuk bangkitkan batu dan tumbuhan terendam ini. Mungkin hingga Tuhan takdirkan saat itu, warga dan hasil karyanya tetaplah........... (sekarang anda mudah-mudahan sudah hapal tiga kata itu dan urutannya) Mudah-mudahan juga kamu juga santai membacanya dan mudah-mudahan tidak terlalu serius karena belum usulkan solusinya. Terima kasih untuk itu. 3S = Santai Seolah Serius.
Comments
Post a Comment