Dugaan bahwa kategori nomor (5) di alinea berikut #PeringkatIndonesia buruk karena hutangnya banyak perlu dikesampingkan. Dugaan bahwa harapan hidup di Indonesia dengan damai dan sehat hingga tua (2) juga perlu dikesampingkan. Dugaan bahwa polusi karbon (6) di Indonesia masih tertolong hutan tropis dsb, juga sangat perlu dikesampingkan. Inilah tulisan fakta riset World Economic Forum tentang Indonesia. Ingat Indonesia lumayan juara mispersepsi Per definisi pakai bahasa (diupayakan) sederhana, Indeks Pembangunan Inklusif (IBI) bicara apakah kebijakan struktur dan kelembagaan sebuah perekonomian sudah pro pada: (1) Penciptaan lapangan pekerjaan, (2) Harapan hidup sehat, (3) Sedikit orang miskinnya, (4) Merata kemakmurannya, (5) Sedikit proporsi hutang negaranya, dan (6) Polusi karbonnya dari ekonominya minimal. Ini baru sebagian dari sub pilar dan pilar lainnya, untuk teknisnya dapat menjadi bahan diskusi lebih jauh. Memakai kategori peringkat 'Di Kelas' a la aba-amba maka ...
![]() |
Sumber foto: https://en.wikipedia.org/wiki/Indonesian_language. Mengutip riset pimpinan Prof. Dr. J. W. de Vries dari the University of Leiden di Belanda |
KBBI indikator pertamanya. Pembaruan dalam kamus besar ini seperti berjalan sangat lambat. Entah berapa banyak birokrasi dan persetujuan serta kegaduhan dibuat sekedar untuk memasukkan satu kata atau mungkin frase ke dalamnya. Dijajah kelambanan. Kota sebagai pusat kemajuan menuntut segala hal selalu terbarukan jika tidak, toh ada desa tempat kehidupan sederhana yang hanya mendiskusikan hal-hal mendasar (ya, mungkin sedikit hal-hal berbau supranatural dan filosofis). Tak terlalu diperlukan misalnya padanan dari struktur kompleks bidang kedokteran, keuangan atau teknologi di sana. Kota tak begitu, sementara memakai istilah rumit sesuai bahasa asal hanya akan membuat istilah, proses, atau mekanisme itu menjadi hanya milik segelintir orang. Dijajah kelambanan kembali.
Bahasa pun perlu promosi dan edukasi. Ini biasanya didapat melalui bacaan dan media audio video internet. Yang kesemuanya senang dengan bahasa campuran-berlebih dengan istilah dari negara lain (atau istilah dalam negeri tapi spesifik dari kelompok/dialek tertentu) yang dianggap lebih keren, hip, atau sekedar familiar dan mudah menjelaskan apa yang akan disampaikan ke lawan bicara (atau lawan berkomunikasi dalam artian luas). Aksara roman memang dikuasai oleh turunan bahasa anglo-saxon, anglo-frisian dari sekitar dataran Eropa. Bahasa dengan aksara roman Inggris akhirnya menguasai dunia saat ini. Bahasa Indonesia yang terlihat berakar pada budaya tutur terdahulu Sanskrit, Arabik (yang lalu di-Melayu-kan), Belanda dan terakhir Inggris.
Sekarang bahasa ini bernama, tapi upaya menjaga utamanya haruslah dari mereka yang dipercaya mengadministrasinya. Sebesar apapun media atau kelompok kritikus berbunyi, gong terakhir tetaplah si Pemerintah. Beberapa dekade lalu ada upaya nyata, misalnya mengharuskan ada merek dagang Bakeri Holan sebagai versi bahasa Indonesia dari Holland Bakery. Ini sebagai kepatuhan pada peraturan Pemerintah (yang kemudian plang toko kembali ke istilah awal saat 'tahi ayam'-nya tak lagi hangat). Jika membaca majalah asal Perancis Première (yang adalah franchise dari rekan Amerika Serikatnya), kita dapat melihat, bahkan moto produk dari iklan yang 'terpaksa' berbahasa Inggris di dalamnya memakai asteriks--*) melihat ditepian lembar kertas ada penjelasan berisi terjemah bahasa Perancis untuk moto produk tersebut. Bahasa Jepang; meski aksara bukan roman, tapi mereka terlihat beradaptasi dengan negara terutama Perancis (yang sepertinya jadi patokan romantisme), Amerika Serikat dengan bahasa 'pasar'-nya dan Cina karena kedua negara memang punya kedekatan historis. Yang terpampang adalah ucapan thank you, yang dengan lidah sushi mereka terdengar seperti [th-a-nk ky-u] dengan [a] yang bukan [e] seperti terdengar dari penutur aslinya.
Penutur bahasa Indonesia dibombardir untuk jadi fasih berbahasa Inggris atau jika tidak akan berisiko menjadi objek candaan dan kelakar seolah yang mengkritisi lebih bagus. Pemerintah seperti abai mungkin dengan kelitan bahwa ini bukan prioritas yang perlu dijalankan serius. Lambat namun pasti generasi berikutnya menjadi penyerap budaya Malaysia (si lucu Upin dan Ipin) atau Korea yang menjadi pusat budaya pop terbaru; lewat bahasa yang digunakan sebagai penyampai pesan. Belum selesai ter-Inggris-Inggris-an. Semakin terjepit bahasa ini.
Penghasil produk seni budaya pun terjebak dalam upaya terus menerka apakah harus memakai obrolah penuh istilah Inggris dalam karya novel, bahasa kota yang saat ini dipakai generasi milenial (yang sepertinya harus menyertakan kata janggut 'njir' dari anjir yang diplesetkan dari 'anjing' sebagai terjemahan bebas dari 'bitch'--dalam setiap 5 s.d 10 menit percakapan antar mereka) arar tetap menjadi 'kini'. Bahasa filem pun jadi klise yang buat kernyitan dahi. Ini karena pemilihan kata yang sepertinya tanpa sikap dan prinsip, atau mungkin tanpa sumber daya dan referensi memadai. Pemakaian 'kau' di filem Indonesia klasik terdengar lebih jaya dan pasti. Ini bangsa kolosal jadi bahasa masal jadi perlu jika penonton-sasaran juga luas. Filem Amerika (Serikat) populer paham ini. Setiap kata dapat diterjemahkan atau dipahami konteksnya bagi penonton dengan kemampuan Inggris-pasif setidaknya. Atau kembali ke cinta bahasa sendiri, jangan heran jika rekaan terbaru dari semestanya Marvel Comics berbahasa Jerman di bioskop di München.
Bangsa Indonesia sepertinya masih akan bertahan. Bahasa Indonesia? Entahlah mungkin ada tapi akan jadi tak berakar lagi di lisan penuturnya jika kondisi tetap dibiarkan saja. Atau kitalah memang yang gamang dengan pilihan kita? Atau mungkin dampak majority fools yang illiterate mengambil keputusan bersama sementara too few good men left terus terjajah. Ini jelas kegamangan implisit saya yang terpaksa memakai frase penjelas dari bahasa lain...Anda juga gamangkah?
Comments
Post a Comment