Dugaan bahwa kategori nomor (5) di alinea berikut #PeringkatIndonesia buruk karena hutangnya banyak perlu dikesampingkan. Dugaan bahwa harapan hidup di Indonesia dengan damai dan sehat hingga tua (2) juga perlu dikesampingkan. Dugaan bahwa polusi karbon (6) di Indonesia masih tertolong hutan tropis dsb, juga sangat perlu dikesampingkan. Inilah tulisan fakta riset World Economic Forum tentang Indonesia. Ingat Indonesia lumayan juara mispersepsi Per definisi pakai bahasa (diupayakan) sederhana, Indeks Pembangunan Inklusif (IBI) bicara apakah kebijakan struktur dan kelembagaan sebuah perekonomian sudah pro pada: (1) Penciptaan lapangan pekerjaan, (2) Harapan hidup sehat, (3) Sedikit orang miskinnya, (4) Merata kemakmurannya, (5) Sedikit proporsi hutang negaranya, dan (6) Polusi karbonnya dari ekonominya minimal. Ini baru sebagian dari sub pilar dan pilar lainnya, untuk teknisnya dapat menjadi bahan diskusi lebih jauh. Memakai kategori peringkat 'Di Kelas' a la aba-amba maka
Orang Indonesia yang Kolektivis lebih suka Mengungkap Informasi di Facebook untuk Kebutuhan-Popularitas
Sebuah penelitian bersama oleh Ardi dan Maison (Universitas Airlangga dan University of Warsaw, 2014) yang dimuat pada Journal of Information, Communication and Ethics in Society membandingkan orang Indonesia yang hidup di budaya yang sangat kolektivis (paling bahkan) dengan orang Polandia yang berbudaya individualis hierarkis. Dilakukan terhadap 346 orang Indonesia berusia rata-rata 26,5 tahun dan 300 orang Polandia.sumber: Ardi dan Maison, 2014
Hasilnya orang Indonesia lebih terbuka dan lebih intim berbagi informasi di Facebook namun sayangnya justru orang Polandia yang lebih suka berbagi konten bernada positif. Selain itu, pengungkapan diri di Facebook juga berasosiasi lebih erat dengan kebutuhan-akan-popularitas (NfP) meski juga terkait dengan kebutuhan-untuk-penerimaan-sosial (NtB). Penghargaan-diri yang sedikit lebih rendah dibarengi dengan lebih sering menulis di wall, berkomentar dan meng-upload konten menggambarkan orang Indonesia. Jumlah teman rata-rata orang Indonesia 1.125 orang jauh lebih banyak dari 309 bagi orang Polandia menggambarkan betapa kebutuhan untuk populer di budaya kolektif dimana keinginan mempertahankan harmoni sangat tercermin.
Mungkin ini yang belakangan justru bergeser dengan konten yang semakin individualis atau justru agar lebih diterima oleh kelompok dimana pengguna menjadi bagiannya. Ada kecenderungan era post-truth ikut masuk dalam arena bersosial media orang Indonesia.
Kebutuhan-akan-Popularitas (KaP atau NfP) namun tanpa Ekspresi
KaP maksudnya adalah kecenderungan untuk tampil dengan kesan tertentuk agar lebih populer di antara banyak orang. Ini dapat dilihat sebagai tinggi dan efektifnya kemampuan bersosialisasi seseorang, selain juga karakteristik lain seperti disukai, dapat menjaga pertemanan dan jadi trendsetter. Tanpa ekspresi di sini yang membedakan media sosial dengan kontak langsung, karena di Facebook ekspresi dapat dilakukan dengan minim atau tanpa gerak-gerik, ekspresi muka dan suara. Pembentukan kesan bagi orang Indonesia lebih mudah dilakukan dan lebih diinginkan dibandingkan rekan Polandianya.
Konten Positif lebih Sedikit?
Keberagaman di Indonesia jelas membuat ikatan sosial dan pencarian keakraban menjadi lebih sulit. Dan dengan lebih banyaknya pos yang dimuat kecenderungan membentuk kesan akan membuat konten positif menjadi lebih sulit karena kadang memberikan konten negatif dapat membuat lingkaran pertemanan menjadi lebih kuat.
Comments
Post a Comment